
PROF. TOETIK KOESBARDIATI: Pendidikan Inklusif Bencana sebagai Fondasi Pemberdayaan Disabilitas
Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (UNAIR) kembali menegaskan perannya sebagai kampus berdampak dengan fokus pada isu kemanusiaan dan keberlanjutan. Dalam acara Soft Launching Pedoman Penyandang Disabilitas dalam Respon Tanggap Darurat Bencana yang digelar secara daring, Prof. Dr. Phil. Toetik Koesbardiati, Guru Besar Antropologi dan pengajar di Program Studi Magister Manajemen Bencana UNAIR, menekankan pentingnya pendidikan inklusif dalam manajemen bencana.
Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Magister Manajemen Bencana UNAIR dan Kinanta Foundation. Prof. Toetik menegaskan bahwa pendidikan adalah kunci utama pemberdayaan penyandang disabilitas, khususnya ketika menghadapi situasi darurat bencana.
Pendidikan sebagai Jembatan Kesetaraan
Dalam paparannya, Prof. Toetik mengisahkan awal mula gagasan pendidikan inklusif bencana, yang lahir dari diskusi dengan mahasiswanya. Menurutnya, pendidikan tidak hanya sebatas ruang kelas, tetapi juga wadah untuk meningkatkan kesadaran publik dan kolaborasi lintas pihak.
“Pendidikan, dalam bentuk apa pun, adalah kunci yang akan membuka pemahaman tentang bencana dan membebaskan teman-teman disabilitas dari ketidakmauan,” ujarnya.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menegaskan kesetaraan hak, termasuk hak mendapatkan perlindungan dalam situasi bencana.
Tiga Pilar Pendidikan Inklusif Bencana
Prof. Toetik merumuskan tiga pilar utama dalam membangun pendidikan bencana yang inklusif:
- Dasar Hukum yang Kuat – regulasi yang ada harus dipahami dan dilaksanakan secara konsisten.
- Memahami Realitas yang Beragam – penyandang disabilitas menghadapi hambatan fisik, sosial, dan kebijakan yang berbeda-beda.
- Partisipasi Aktif sebagai Kebutuhan – mereka harus terlibat penuh dalam perencanaan hingga implementasi kebijakan, karena paling memahami kebutuhan diri mereka.
Selain pendidikan formal, ia juga menekankan pentingnya pendidikan non-formal yang menggabungkan pengetahuan akademik, masyarakat umum, dan kearifan lokal untuk memperkuat kesiapsiagaan kolektif.
UNAIR sebagai Penggerak Kampus Berdampak
Melalui program Magister Manajemen Bencana, UNAIR berkomitmen menjadi penggerak dalam isu inklusi disabilitas. Mahasiswa didorong untuk mengkaji fenomena sosial-budaya serta melibatkan penyandang disabilitas dalam proses pembelajaran dan penelitian.
“Perspektif kita harus berubah. Kita tidak bisa lagi melihat mereka sebagai ‘yang tertinggal’. Perspektif baru ini dibangun melalui pengetahuan,” tegas Prof. Toetik.
Dengan kolaborasi bersama komunitas, lembaga, dan organisasi seperti Kinanta Foundation, UNAIR ingin menciptakan kebijakan adaptif yang benar-benar berpihak pada kebutuhan penyandang disabilitas.
Pendidikan sebagai Fondasi Pemberdayaan
Pesan Prof. Toetik jelas: pendidikan adalah fondasi kebebasan dan pemberdayaan. Melalui pendekatan inklusif, penyandang disabilitas tidak hanya dilibatkan dalam kesiapsiagaan bencana, tetapi juga menjadi bagian dari pembangunan masyarakat yang adil, tangguh, dan peduli.



